Terdampar di Gili Labak: Surga Tersembunyi di Ujung Pulau Garam (The Sequel)
Pada kisah sebelumnya, saya yang ditinggal sendirian di Gili Labak berusaha memutar otak tentang bagaimana menghabiskan waktu sendirian di pulau ini. Karena ngobrol dengan mas pemandu pun lama kelamaan mulai kehabisan topik, jadilah saya memutuskan untuk keliling pulau. Kesendirian membuat saya lebih leluasa untuk mengeksplorasi pulau yang sering disinggahi nelayan setempat untuk beristirahat ini. Uniknya, saya memerhatikan kalau perahu-perahu nelayan di sini mayoritas sama bentukannya-agak menyerupai perahu Viking dalam imaninasi saya. Jadinya terlihat semacam copy paste atau keluaran pabrik alias produksi massal gitu. Keadaan laut di sini sangat tenang, nyaris tidak ada ombak bahkan. Mungkin karena letaknya juga yang berada di selat Madura. Jadi, apabila sobat mencari lokasi untuk berselancar atau menantang ombak besar, jelaslah pulau ini bukan jawabannya. Namun kalau sobat mencari ketenangan untuk sekedar melarikan diri dari ingar bingar kota besar, pulau ini bisa menjadi jawabannya. Apalagi sinyal di sini agak-agak susah ya, jadi beneran agak terisolir dari dunia luar. Oh ya, dan juga listrik di sini hanya ada selepas magrib sampai tengah malam, soalnya masih menggunakan genset. Pokoknya temanya "back to nature" gitu deh.
Sore itu, suasana sangat sepi. Hanya terlihat beberapa anak muda yang sepertinya berangkat sendiri tanpa ikut open trip. Sedangkan rombongan open trip lainnya sudah pada balik, karena memang kebanyakan orang mengambil paket day trip. Karena sepinya, saya pun lebih bebas untuk mengambil foto, berjalan di dermaga yang ikonik, mengelilingi pulau dan tentu saja nggak perlu berebutan kursi pantai. Ternyata asyik juga begini, hehe. Selain itu, saya juga bebas memilih spot untuk menyaksikan sunset-walaupun akhirnya penantian saya akhirnya digagalkan oleh awan mendung yang semakin malam semakin tebal. Apa boleh buat, mari kita coba peruntungan sunrise esok hari, deh #harapharapcemas.
Selepas waktu magrib, keadaan di pulau ini sangat gelap-dan saat itu barulah genset dinyalakan. Karena pengalaman selama hidup di Natuna yang dirundung ketidakjelasan masalah listrik, saya langsung buru-buru mgecas hape. Untuk makan malam, ada beberapa warung yang masih buka walaupun jumlah dan menunya terbatas. Nah, enaknya bagi sobat yang mengikuti program open trip adalah tidak perlu khawatir kelaparan karena mereka bekerja sama dengan warung lokal. Waktu itu, saya makan di warung dekat dermaga. Pemiliknya seorang ibu yang wajahnya agak sangar namun baik, karena porsi saya dilebihkan 😜. Biasanya menu akan disesuaikan dengan hasil tangkapan nelayan saat itu, jadi ya sekitaran seafood. Waktu itu saya mendapat 3 ekor ikan goreng dan 1 piring cumi hitam untuk dimakan bersama dengan pemandu. Menurut masnya, selama dia membawa trip ke sini, ini kali pertamanya mendapat menu cumi hitam. Wah, rezeki anak soleh pikir saya, hehe. Namun, bila sobat berencana sendiri ke sini, saran saya adalah membawa makanan pribadi, karena menurut info bisa saja nggak ada warung yang buka sama sekali. Untuk penginapan, tidak ada motel, hostel, hotel atau sejenisnya. Pilihannya hanya tiga, yaitu tidur di tenda, di kursi pantai atau ngemper geletakan di pasir. Kalau ikut program trip, pastilah sudah termasuk tenda-dan waktu itu saya mendapat tenda untuk saya seorang diri! Sampai nggak enak hati, karena benar-benar open trip rasa private trip! Awalnya saya memilih tidur di kursi pantai, soalnya suasanya malam di sini sangat tenang. Hanya terdengar gemericik ombak disertai hembusan angin laut dan sejauh mata memandang tampak lampu-lampu keramba dari tengah laut. Namun semuanya dirusak karena saya diserang pasukan nyamuk! Ya, semakin larut, nyamuk di pulau ini semakin banyak dan ganas. Mau Akhirnya saya pun menyerah tanpa syarat dan melarikan diri ke dalam tenda.
Alarm hape saya berbunyi. Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Suasana di sekitar tenda sangat sepi dan gelap. Dengan mata yang masih kriyep-kriyep, saya mulai berjalan menuju spot sunrise yang berada di sisi lain pulau. Sang fajar pun perlahan mulai menampakkan diri dan langit yang semula gelap gulita perlahan mulai terang, dan di sinilah menurut saya pemandangan tercantik selama saya berada di sana: warna cakrawala yang lembayung direfleksikan oleh permukaan laut selat Madura yang sangat tenang nyaris tanpa ombak, sehingga benar-benar seperti sebuah kaca raksasa! Hal itu dipercantik dengan refleksi keramba yang mengapung. Pokoknya terbaik, deh!
Baca juga:
Comments
Post a Comment