Eksplorasi Gunung Ranai Natuna (The Sequel)

  Pada kisah sebelumnya, dengan penuh perjuangan akhirnya kami mencapai basecamp. Penampakan basecamp ini adalah sepetak daerah yang datar yang dikelilingi pepohonan lebat. Pada bagian tengahnya terdapat area yang agak gundul, mungkin karena selalu digunakan oleh setiap pendaki yang bermalam di sana untuk menyalakan api unggun.  Area basecamp tidak terlalu luas, namun cukup untuk kami mendirikan 4 tenda. Awalnya saya sempat kaget mengira ini adalah puncaknya Gunung Ranai. Bukan apa-apa, sepertinya kurang klimaks saja rasanya kalau sepak terjang kami ternyata hanya berujung sepetak lahan 😎. Namun ternyata untuk menuju puncak kita masih harus melakukan summiting lagi. Ah, sepertinya tidak akan terlalu sulit, pikir saya waktu itu.

    Malam itu jam menunjukkan sekitar pukul 19.30 WIB. Para pemuda bergegas menyalakan api unggun karena udara yang semakin dingin dan keadaan sekitar yang gelap. Setelah api unggun berhasil dinyalakan, kami pun mengeluarkan perbekalan untuk makan malam, dan di sinilah terjadi masalah miskomunikasi...ternyata, maksud kami diminta untuk membawa bekal saat briefing kemarin adalah agar kami juga mempersiapkan bekal untuk keseluruhan rombongan. Namun, yang terjadi adalah kami hanya membawa 6 bungkus nasi padang, sedangkan mereka hanya membawa mi instan dengan kornet. Kami yang merasa tidak enak hati berusaha menawarkan porsi makanan kami, namun mereka sungkan dan memilih untuk memasak mi instan. Jadilah sesi makan malam tersebut merupakan salah satu momen paling awkward di hidup saya. Semua jatuh dalam keheningan. Dinginnya malam disertai suara hewan malam dari berbagai penjuru melengkapi suasana makan malam yang dingin tersebut. Saya bisa mendengar suara jangkrik bersahut-sahutan dengan jelas. Literally definisi "krik-krik" pikir saya. Hal itu ditambah dengan nasi padang kami yang sudah dingin. Bayangkan, di tengah suhu gunung yang dingin, kami kudu menyantap nasi yang sudah benyek bercampur dengan santan dingin. Di sini jugalah penerapan peribahasa "rumput tetangga selalu lebih hijau" terjadi. Kami yang makan kudapan nikmat namun sudah dingin justru naksir dengan mi rebus yang aromanya semerbak, dan mungkin mereka pun berpikir sebaliknya.

   Setelah makan malam dan beristirahat, kami pun mengisi malam dengan berbincang-bincang. Ternyata kelompok pemuda ini sebagian merupakan mahasiswa di suatu universitas Pontianak dan beberapa ada yang merupakan siswa pelayaran. Jauh juga yak, anak pelayaran berkelana hingga ke gunung. Kami juga menyampaikan kalau pada awalnya berencana mendaki sendiri tanpa ditemani orang berpengalaman. Mendengar hal tersebut, seorang pemuda yang adalah warga asli Ranai langsung bercerita kalau sudah beberapa kali kejadian pendaki hilang atau tersesat di gunung ini. Sebagian memiliki latar belakang cerita yang hampir sama, yaitu meremehkan ketinggian dan medan Gunung Ranai, dengan pemikiran sudah pernah menaklukan gunung-gunung lain yang lebih tinggi. Padahal, gunung yang tidak aktif ini dikenal sebagai sarangnya kisah mistis di Natuna. Ada yang mengatakan kalau di sana terdapat sebuah kerajaan dunia lain, ada pula cerita tentang Orang Bedung yang keberadaannya misterius. Apapun itu, kami sepakat untuk tidak melanjutkan perbincangan mengenai topik tersebut karena merasa kurang nyaman dan respek terhadap kisah lokal (baca: takut).

    Setelah cukup lama berbincang-bincang, topik bahasan pun mulai habis. Untuk menghindari terjadinya momen awkward yang kedua, akhirnya seseorang mengusulkan untuk melihat situasi di puncak gunung. Ternyata untuk menuju ke puncak dari basecamp tidak terlalu jauh, perkiraan waktu tempuh pun hanya 20-30 menit. Rombongan pun (lagi-lagi) dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang memilih untuk beristirahat di basecamp dan yang akan summiting. Mendekati tengah malam, kami mulai bergerak menyisir jalan setapak. Secara perlahan cahaya dari api unggun mulai dimakan kegelapan malam, dan kami harus menggunakan cahaya senter untuk menuntun kami mengarungi hutan. Setelah melewati vegetasi, makan tampaklah bebatuan yang terjal. Di sinilah menurut saya medan yang tersulit dalam perjalanan kami. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana kami harus masuk ke kolong bongkahan batu, meniti jalan kecil di atas batu sambil bersandar untuk membantu keseimbangan hingga menggunakan tali untuk melewati tebing yang untungnya tidak terlalu tinggi. Semua hal tersebut harus kami lakukan di tengah terpaan angin yang dingin. Akhirnya terlihatlah puncak Gunung Ranai yang berupa dua batu besar. Ketika berdiri di atas batu tersebut, sangat terasa terpaan angin kencang. Namun, rasa dingin dan lelah itu terbayar dengan pemandangan spektakuler. Dari titik tertinggi kepulauan Natuna ini, kami bisa melihat kota Ranai yang bermandikan cahaya lampu dan juga kelap-kelip cahaya lampu dari kapal nelayan di lautan. Pemandangan tersebut semakin indah dengan gugusan bintang-bintang yang terlihat sangat jelas.

    Kami semua asyik menikmati pemandangan, hingga akhirnya malam semakin larut dan juga semakin dingin. Tidak terdapat satu pohon pun di puncak itu, sehingga yang bisa dilakukan hanya berlindung di balik batu besar atau balik ke basecamp, namun harus melewati medan yang membayangkannya saja sudah bikin malas. Beberapa teman saya memilih untuk balik dan beristirahat di tenda, sedangkan saya dan sisanya memutuskan untuk bertahan. Semakin mendekati subuh, suhu udara terasa semakin dingin. Berlindung di balik bongkahan batu besar memang melindungi kami dari terpaan angin secara langsung, namun permukaan batu juga terasa dingin. Sembari berdoa agar tidak mati kedinginan, saya pun akhirnya terlelap.

    Karena mendengar suara gaduh, saya terbangun dari tidur yang memang tidak nyenyak sama sekali. Ternyata waktu sudah menjelang pagi hari, dan rombongan dari basecamp sudah tiba di puncak untuk menyambut sunrise. Dengan keadaan masih setengah sadar, kami menunggu terbitnya sang fajar. Matahari mulai muncul secara perlahan, namun sayanganya pandangan tertutup kabut yang sangat tebal. Keadaan pun semakin terang, tetapi kabut tidak juga pergi. Pada momen tersebut, kami sangat kecewa pastinya, karena seluruh perjuangan kami untuk melihat keindahan sunrise harus pupus. Ya, rasanya kurang afdol gitu, sudah naik gunung tapi nggak melihat sunrise. Jangankan melihat matahari terbit, pemandangannya saja tidak kelihatan. Akan tetapi, di saat inilah tiba-tiba mukjizat muncul! Entah bagaimana mekanismenya, seluruh kabut tertiup oleh angin, dan tampaklah pemandangan yang spektakuler! Kami semua sampai tertegun melihat pemandangan daratan dan lautan yang biru memesona. Akhirnya, pengibaran Sang Merah Putih pun menjadi simbol pengesahan kami menaklukan puncak gunung tertinggi di ujung negeri.


ekspedisi puncak gunung ranai natuna
Semua lelah terbayarkan begitu melihat pemandangan seperti ini...


pengibaran bendera puncak gunung ranai natuna
Summiting on the Independence day? Checked! 😎


    Pendakian Gunung Ranai ini mengajarkan kami beberapa hal. Pertama, adalah agar jangan menganggap remeh apapun. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada kami bila tetap bersikeras berangkat pada malam hari tanpa dipandu orang yang sudab berpengalaman. Kedua, pepatah "looks can be deceiving" sepertinya benar adanya. Gunung ini mungkin tidak terlalu tinggi, namun jangan sekali-kali meremehkan medannya. Apabila sobat hendak menaklukan gunung ini, saran saya ajaklah orang yang setidaknya sudah berpengalaman mendakinya. Ketiga, tentu saja agar tidak lupa untuk bersyukur. Kami dikelilingi orang-orang baik seperti dr. Aga dan rekan-rekan perawat yang khawatir dengan keselamatan kami hingga kelompok pencinta alam yang dengan sabar selalu membantu kami, walaupun sempat terjadi miskomunikasi 😝. Dan akhirnya, percayalah bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur. Saat kami kecewa dan hampir gegabah untuk turun, di saat itu jugalah tirai kabut dibukakan untuk kami dan tampaklah kado terindah di Hari Kemerdekaan itu.

    Karena hari semakin siang, maka kami bergerak turun dari puncak gunung menuju basecamp untuk bersiap melalukan perjalanan pulang. Alangkah kagetnya saya karena medan menuju puncak yang semalam kami lalui ternyata bagian paling ekstrem dalam ekspedisi kami. Ternyata jalan berbatu yang kami lalui langsung berbatasan dengan jurang. Saya bisa melihat dengan jelas hutan lebat di bawah pijakan saya. Benar-benar sesuatu yang tidak kami sangka, karena pada malam hari suasananya benar-benar gelap. Begitulah, perjalanan kami sudah usai, namun memorinya akan selalu kami kenang. Namun, untuk saat itu kami masih ada satu tugas berat, yaitu berjalan menuruni jalan setapak yang terjal. Saya masih ingat bagaimana kedua paha saya sampai mati rasa dan harus berjuang satu minggu ke depan setelahnya untuk menahan rasa sakit. Bahkan, untuk ke toilet saja saya harus mengelus dada sebelumnya. Memang fisik tidak dapat dibohongi, ya. 


ekspedisi pendakian gunung ranai natuna
Meniti bebatuan dari basecamp mencapai puncak. Jangan sampai terpelest, ya. 



ekspedisi puncak gunung ranai natuna
Journeys may come to an end, but memories last. 
 

Comments

Popular posts from this blog

Tips Wisata atau Liburan ke Natuna

Natuna: A Piece of Paradise