Eksplorasi Gunung Ranai Natuna
Jika kita tiba di Natuna via udara, maka salah satu hal yang paling pertama kita lihat setelah turun dari pesawat adalah Gunung Ranai. Kalau kita beraktivitas sehari-hari di kota Ranai pun, gunung yang menurut info dari warga memiliki ketinggian 2000an mdpl ini (saya sih nggak pernah mengukurnya sendiri ya, jadi percaya saja) merupakan pemandangan sehari-hari. Ha! Dari kejauhan terlihat nggak terlalu curam dan tingginya hanya 2000an mdpl pula. Harusnya nggak terlalu merepotkan lah, ya? Saya dan teman2 pun awalnya berpikir begitu, tapi simak dulu ya kisah kami selanjutnya.
Bandara Ranai dengan latar belakang Gunung Ranai. Dari jauh sepertinya nggak tinggi-tinggi amat kan, ya?
Sebenarnya, untuk saya yang bukan model "anak gunung" die hard begini, ide untuk mendaki Gunung Ranai tidak terbesit sama sekali pada mulanya. Namun hal itu berubah karena "diracuni" oleh teman saya pada awal bulan Agustus tahun 2016. Dengan iming-iming bisa mengibarkan Sang Merah Putih di puncak tertinggi ujung negeri pada hari kemerdekaan dengan ketinggian gunung yang dari kejauhan sepertinya tidak seberapa sulit, kami pun pede bisa menaklukannya dengan mudah. Tidak ada persiapan khusus seperti olahraga untuk ketahanan fisik atau sebagainya. Bahkan kami sempat berencana untuk mulai mendaki pada malam hari tanggal 16 Agustus, sehingga bisa summiting dan paginya langsung mengibarkan bendera. Dengan begitu kami tidak perlu membawa tenda, pikir kami. Namun, dasar info di Ranai mudah sekali menyebar, maka rencana kami untuk mendaki pun tersebar luas. Akhirnya, atas anjuran beberapa rekan perawat dan juga dr. Aga, spesialis bedah kami, maka kami sangat tidak disarankan untuk mendaki tanpa dipandu dengan orang yang berpengalaman. Bukan tanpa alasan, ternyata gunung ini memiliki segudang kisah mistis dengan medan yang cukup terisolir karena jarang dilalui orang.
Dengan bantuan beberapa rekan, kami pun diperkenalkan dengan sekelompok pemuda pencinta alam yang rencananya juga akan berangkat mengibarkan bendera. Kami pun diundang untuk briefing di sebuah pondok milik partai politik pada H-1 pendakian. Kenapa pertemuannya dilaksanakan di pondok partai politik tersebut? Percayalah, hingga kini kami pun tidak ada yang mengetahui alasannya. Ternyata beliau-beliau merupakan pendaki serius, mulai dari segala sesuatunya dipersiapkan dengan baik. Mulai dari tenda, parang untuk membuka jalan, senter hingga perbekalan. Saya dan teman-teman pun jadi malu sendiri karena benar-benar jauh dari kata siap untuk terjun esok hari. Akhirnya pengarahan pun selesai, dan kami diminta untuk membawa perlengkapan pribadi dan bekal (yang nantinya akan menjadi salah persepsi). Apakah briefing tersebut membakar semangat kami? Boro-boro! Ditemani orang-orang yang berpengalaman, justru saat itu kami semakin menganggap enteng pendakian ini. Kami hanya membawa ransel kecil yang isinya makanan ringan dan air mineral. Bahkan saking malasnya untuk memasak, untuk bekal kami membeli...nasi padang๐. Pokoknya benar-benar atmosfer liburan gitu, deh.
Akhirnya tibalah hari H. Semua peserta berkumpul di kaki gunung selepas tengah hari. Setelah berdoa bersama, saya beserta 6 orang teman dan rombongan pemuda yang terdiri dari sejumlah orang melakukan briefing akhir. Proses pendakian akan memakan waktu kurang lebih 4-6 jam dan terdapat 2 pos peristirahatan. Awal pendakian semua tampak baik-baik saja, jalan setapak yang jelas terlihat dan cukup landai membuat kami asik berbincang-bincang dengan kelompok pemuda yang ternyata sebagian berasal dari Pontianak dan khusus ke Natuna hanya untuk mendaki. Sebagian lagi merupakan pemuda lokal yang memang sudah pernah mendaki gunung ini sebelumnya. Ah, indahnya persahabatan lintas batas! Tidak terasa, akhirnya kami sampai di pos peristirahatan pertama yang berupa bongkahan pohon besar. Di sini kami menikmati makanan ringan dan persediaan air yang kami bawa. Suasana alam yang rindang disertai melengkapi rehat kami di siang hari itu.
Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke pos kedua. Jalan setapak yang kami lalui semakin mengecil dan banyak tertutup semak-semak yang tumbuh subur, sehingga semakin membuktikan bahwa gunung ini jarang terjamah kehidupan luar. Kelompok pencinta alam pun dengan sigap memangkasnya agar jalan terbuka, sementara kami sudah mulai ngos-ngosan karena jalan yang semakin menanjak. Ketika tiba di pos kedua pada sekitar pukul 16.00 banyak dari kami yang sudah bersimbah keringat dan bahkan sudah berkunang-kunang. Jadi diputuskanlah untuk istirahat agak lama, sekitar 30 hingga 45 menit. Sebenarnya jadwal kami sudah molor, karena menurut para pemuda itu idealnya kita sudah mencapai basecamp sebelum magrib. Yah mau bagaimana lagi, daripada pingsan di tengah jalan, pusing juga memikirkan evakuasinya, bukan? Benar saja, perjalanan kami dari pos kedua menuju basecamp merupakan salah satu yang tersulit dalam ekspedisi (cieileh) ini. Meniti jalan setapak yang amat terjal dengan tanah yang licin di tengah kegelapan malam sungguh bukan hal yang mudah bagi kami para pemula. Dan jangan lupa, karena waktu sudah malam, maka ada tantangan lainnya: kami harus bersaing memperebutkan oksigen dengan penghuni hutan lain. Bravo! Hingga puncaknya adalah jalan dengan kemiringan hampir 90 derajat yang harus kami lewati. Itulah saat-saat saya menyesal mengikuti kegiatan ini. Terbayang dalam benak saya apabila saya memutuskan untuk tetap tinggal di rumah, pastilah saya saat itu sedang rebahan sambil mengikuti akun gosip di media sosial. Namun sekarang kami sudah berada sangat dekat dengan tujuan kami. Mau menyerah dan turun juga nggak mungkin secara sudah malam dan jalan yang dilalui untuk turun juga lumayan jauh. Karena banyak dari kami yang (lagi-lagi) sudah sangat kelelahan, akhirnya rombongan dibagi menjadi beberapa orang yang istirahat sejenak (tidak perlu ditanya lagi, tentu saja berisi rombongan kami yang ditemani beberapa orang pemuda) dan sebagian lagi tetap bergerak menuju basecamp untuk mendirikan tenda. Di dekat lokasi tersebut ada sumber mata air, maka beberapa dari kami mengisi jirigen dan botol-botol kosong dengan air untuk melepas dahaga.
Setelah mengumpulkan napas dan membulatkan tekad, kami pun melanjutkan perjuangan kami. Dengan langkah yang sudah berat, kami pun mulai bergerak secara perlahan. Kondisi tanah yang licin membuat kami harus ekstra berhati-hati agar tidak terpelanting dan menimpa orang di bawah kami. Dengan bantuan lampu senter, saya berusaha meraih akar dan semak-semak di sekitar untuk membatu diri saya memanjat. Setelah bersusah payah akhirnya kami mampu melewatinya, hingga akhirnya terlihatlah sebuah area datar dengan beberapa tenda yang telah dirakit...ya, itulah basecamp yang dimaksud. Tempat kami akan menghabiskan malam pertama sekaligus terakhir kami di gunung ini. Apakah perjalanan kami sudah selesai? Tentunya belum, karena medan tersulit ternyata justru pada saat summiting tersebut. Oleh karena itu baca juga kisah kami summiting ke puncak Gunung Ranai, ya.
Api unggun yang menemani kami di tengah dinginnya malam Gunung Ranai
Comments
Post a Comment